Kampanye "Rokok Membunuhmu" akan Membunuh Indonesia

Pemerintah RI pada masa pemerintahan Sukarno, pernah mengutus KH agus Salim dan Sri Pakualam VIII dalam sebuah forum internasional di Inggris. Pangeran Philip yang masih muda tampak canggung menghadapi para tamu yang kebanyakan lebih tua. Menyadari hal itu, KH Agus Salim, sang diplomat yang menguasai 8 bahasa asing mendekati Pangeran Philip seraya menghisap rokok kreteknya. Ia bertanya, “Apakah anda mengenal bau ini?”, tanyanya sambil menghembuskan asap kreteknya. Pangeran Philip menjawab ragu dengan senyum formal yang kaku. K.H Agus Salim berkata, ” Aroma inilah yang menyebabkan bangsa anda rela menyeberangi lautan untuk mendatangi negeri saya”.
Tembakau merupakan salah satu komoditas yang penting di dunia dan merupakan produk bernilai tinggi. Bagi beberapa negara, termasuk Indonesia, industri ini menjadi salah satu sumber devisa yang menunjang perekonomian nasional. Tembakau adalah ciri khas Indonesia dan menjadi salah satu bagian utama kualitas rempah terbaik di dunia. Tembakau menghidupi puluhan juta masyarakat Indonesia dan menjadi sumber devisa negara yang sangat menggiurkan.
Ketika bangsa Eropa mulai menginvasi negara-negara di Asia, pertarungan politik bisnis internasional menyebabkan Indonesia harus kehilangan kekayaan negeri sendiri. Semua sumber daya alam Indonesia yang dilindungi selama berabad-abad oleh budaya leluhur kini menjadi incaran kapitalis. Kampanye internasional pun menjadi senjata.
Indonesia yang pernah berjaya dengan produksi minyak mandar yang kini telah diluluh lantakkan dengan bombardir minyak sayur. Minyak mandar atau lomo mandar, dihancurkan dengan isu bahwa kualitas minyaknya tidak baik untuk kesehatan oleh Amerika. Daratan Sulawesi di tahun 1960-an adalah hamparan pulau kelapa yang menjadi tambang hidup rakyat. Tanaman kelapa sering disebut emas hijau berkibar-kibar di sepanjang jazirah Sulawesi, hingga tiba badai jatuhnya harga kopra dunia di tahun 1980 akibat derasnya kampanye perang anti kelapa. Pada tahun 90-an, Amerika dengan getol mengampanyekan betapa berbahayanya minyak kelapa bagi kesehatan. Sebagai gantinya diperkenalkanlah minyak kedelai (produksi Amerika dan korporasinya) yang lebih bersahabat dengan kesehatan. Bangsa Indonesia yang sudah berabad-abad menggunakan minyak kelapa akhirnya takluk, industri minyak kelapa pun hancur, terkubur bersama dengan matinya kearifan lokal.
Hal yang sama terjadi pada gula. Tahun 1930-an, Indonesia adalah produsen gula nomor dua dunia di bawah Kuba. Sejak International Monetary Fund (IMF) datang ke Indonesia tahun 1998, memaksa pemerintah melepas tata niaga komoditinya, termasuk gula, maka gula impor pun membanjir.
Hal itu juga mulai kembali diberlakukan pada rokok kretek, lewat WHO, WTO dan pemerintahan Indonesia soal bahaya nikotin tinggi. Industri tembakau yang memang berjalan lamban, mulai mengikuti jejak matinya kopra, gula, garam dan berbagai komoditi berharga lainnya. Tembakau kini kian tersisih peredarannya seiring dengan aneka “beleid” baru yang membatasinya. Tak lama setelah Soeharto jatuh tahun 1999, menyeruaklah isu perlunya pembatasan kadar kandungan tar dan nikotin.
Dengan berlindung di balik isu kesehatan, beleid pembatasan tembakau akhirnya disahkan tahun 2009. Industri rokok kretek terpukul, sementara rokok putih diuntungkan. Dengan slogan “low tar, low nicotin”, rokok kretek sempoyongan, sementara rokok putih yang menggunakan tembakau Virginia masih di atas angin, Padahal selama ratusan tahun rokok putih tak pernah bisa menggeser rokok kretek.
Kampanye anti tembakau sesungguhnya bermula dari persaingan bisnis nikotin antara industri farmasi dengan industri tembakau di Amerika Serikat. Perusahaan farmasi berkepentingan menguasai nikotin sebagai bahan dasar produk Nicotine Replacement Therapy (NRT).
Di dalam negeri ada dua sisi bertolak belakang. Di satu sisi kebijakan anti tembakau sukses besar. PP tembakau sudah direvisi berkali-kali, puluhan perda anti tembakau, UU Kesehatan dan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif sedang digodok, sementara di sisi lain impor tembakau meningkat tajam.
Tahun 2003 sebesar 29.579 ton naik menjadi 35.171 ton di 2004. Hingga 2008 mencapai 77.302 ton. Dalam waktu lima tahun ada kenaikan 250 persen. Impor cerutu juga naik. Rata-rata kenaikan 197,5 persen per tahun. Tahun 2004 impor cerutu masih US$ 0,09 juta, di tahun 2008 naik menjadi 0,979 juta.
Philips Morris mencaplok Sampoerna tahun 2005 dan BAT mengakuisi Bentoel (2009). Sejak itu pula, perusahaan farmasi yang menjual terapi rokok juga kian populer di Indonesia. (Industri kretek yang masih berada di tangan pihak Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, Wismilak.)
Iklan “ROKOK MEMBUNUHMU” hadir Melalui Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012. Semangat kampanye anti rokok (kretek) ini jelas menghancurkan industri kretek nasional dan pastinya untuk digantikan oleh rokok putih milik Phillip Morris dan BAT, dll.
Kampanye ” ROKOK MEMBUNUHMU” Di Sponsori oleh Bloomberg Initiative, sebuah lembaga berkedudukan di Amerika Serikat. Bloomberg Initiative mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori (Membiayai) ilmuwan, kaum profesional, lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.
Mengapa Industri kretek menjadi sasaran Amerika?
Kekuatan industri kretek itu setidaknya karena beberapa hal.
Pertama, tumbuh berkembang dan bertahan selama berabad-abad tanpa ketergantungan modal pada negara maupun investasi.
Kedua,menggunakan hampir 100% bahan baku dan konten lokal.
Ketiaga, terintegrasi secara penuh dari hulu ke hilir dengan melibatkan tak kurang dari 30,5 juta pekerja langsung maupun tak langsung.
Keempat, industri melayani 93% pasar lokal. Dengan karakter sekokoh itu, tak ayal industri kretek menjadi salah satu prototipe kemandirian ekonomi nasional.
Penggiat ekonomi sekaligus Presidium Insitute Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng mengatakan, dominasi perusahaan besar soal tembakau sangat besar. “Ketika industri tembakau dalam pasar internasional berkembang pesat, di dalam negeri malah ingin dihancurkan,” kata Daeng. Menurutnya, hingga saat ini negara maju seperti Amerika dan Eropa masih mensubsidi pertanian tembakaunya. “Subsidi Amerika banyak sekali untuk industri tembakanya, sampai ke asuransi gagal panen. Eropa juga mensubsidi tanaman tembakaunya. Di dalam negeri justru dimatikan dengan peraturan pemerintah hingga perda,” tandasnya.
mediasi: Maskur Makkasau/ referensi: Syarifuddin / gambar: inditourist

Post a Comment

0 Comments