Perancang Pesawat Tempur Mutakhir asal Indonesia ini diincar Negara-negara Eropa dan Barat

Dwi Hartanto bersama Habibie

Dwi Hartanto jelas bukan orang yang sembarang ketika Ilmuwan sekaliber Habibie sampai begitu menggebu-gebu mencarinya hingga ke negeri Belanda.

Bagaimana tidak istimewa, Dwi Hartanto adalah ilmuwan utama dari sebuah tim ahli yang merancang bangun pesawat tempur tercanggih bersama Korea yaitu KFX dan IFX, sebuah jenis pesawat jet yang paling mutakhir dalam bidang militer udara internasional.

Penemuan pesawat tempur generasi ke 6 yang sedang di kembangkan Dwi Hartanto membuat lompatan tehnologi yang mencengangkan dunia disaat teknologi pesawat tempur paling canggih sekarang baru pada generasi ke 5 seperti yang dimiliki USA dan Rusia. Pesawat generasi ke 6 yang dikembangkan Dwi, mampu melesat dengan kecepatan tinggi di atas atmospir yang miskin oksigen, Ciri khas pesawat generasi ke 6 yakni tanpa ekor di badannya dan bisa terbang tanpa awak pengemudi yang dikendalikan dari darat.

Belum lama ini Dwi mendapat anugerah dan kesempatan untuk mengukir prestasi dan mengharumkan Ibu Pertiwi lagi dengan menapakkan kaki di podium tertinggi dalam ajang prestigious kompetisi riset teknologi antar Space Agency (Lembaga Penerbangan dan Antariksa) dari seluruh dunia di Cologne, Jerman. Kompetisi prestigious antar space agency tersebut diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan perwakilan space agency masing-masing negara, antara lain; ESA (Eropa), NASA (Amerika), DLR (ESA/ Jerman), ESTEC (ESA/ Belanda), JAXA (Jepang), UKSA (Inggris), CSA (Kanada), KARI (Korea), AEB (Brazil), INTA (Spanyol), dan negara-negara maju lainnya.

Kompetisi riset tersebut tergolong prestigious karena selain merupakan “privacy-based space agency research competition”, kompetisi tersebut juga menghadirkan topik-topik riset dengan teknologi tinggi (pinnacle of technology category) dan tahapan seleksi masuknya juga tidak mudah. Sebelum masuk ke tahap final di Cologne, Jerman, para ilmuwan harus melewati tahap seleksi internal di masing-masing space agency. Top 3 dari masing-masing space agency berhak mengikuti tahap final yang dibagi dalam 3 kategori atau topik yang berbeda, yaitu: Spacecraft Technology, Earth Observation dan Life Support Systems in Space. Dwi Hartanto menjuarai bidang kategori riset Spacecraft Technology dengan judul riset “Lethal weapon in the sky” atau “Senjata yang mematikan di angkasa”. Dari hasil riset tersebut, beberapa teknologi utama sudah berhasil ia patenkan bersama timnya.

“Sesuai dengan judul dalam risetnya, saya dan team mengembangkan pesawat tempur modern yang disebut sebagai pesawat tempur generasi ke-6 (6th generation fighter jet). Berawal dari keberhasilan saya dan team saat diminta untuk membantu mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG (Next Generation/ yang sekarang dalam tahap testing tahap akhir) yang mampunyai kemampuan tempur jauh lebih canggih dari generasi sebelumnya dari segi engine performance, kecepatan, aerodinamik serta teknologi (avionik) tempurnya. Keberhasilan tersebut membawa saya dan team untuk meneruskan perkembangan teknologi pesawat tempur ke level berikutnya yang digadang bakal menjadi “era pertempuran pesawat abad baru,” demikian penjelasan Dwi yang gelar bachelornya ia dapatkan dari Tokyo Institute of Technology, Jepang.

Dengan berbekal penguasaan tekonologi yang mendalam dan matang dalam bidang roket dan jet teknologi, Dwi dan timnya berhasil mengembangkan engine pesawat tempur modern yang mereka sebut dengan “hybrid air-breathing rocket engine”.

Teknologi baru tersebut memungkinkan pesawat tempur generasi ke-6 yang sedang mereka kembangkan untuk melesat di dalam jangkauan atmosfir bumi dan near-space (jangkaun di luar atmosfir, yang tipikal jet tempur generasi sebelumnya tidak dapat terbang karena keterbatasan oksigen). Teknologi ini sangat berbeda dengan teknologi mesin jet lainnya seperti SABRE (Synergistic Air-Breathing Rocket Engine) maupun tipikal Scramjet/ Ramjet konvensional yang masih bermasalah dalam thrust-to-weight ratio serta pengendalian energy yang dihasilkan.

Hybrid air-breathing rocket engine yang mereka kembangkan tersebut mampu beroperasi bergantian dari mode penerbangan level atomosfir ke mode penerbangan near-space atau sebaliknya dengan kecepatan hypersonic (Mach 7-8), yang tentu saja mengalahkan engine performance dan kecepetan pesawat-pesawat tempur generasi ke-5 yang hanya mengandalkan teknologi “afterburner” konvensional.

Ketika ditanya tentang pengalaman yang membanggakan ini, Dwi pun menambahkan: “ada sesuatu yang menarik dari pengalaman ini, yaitu sesaat selepas presentasi, bahkan sebelum saya sempat kembali ke tempat duduk, ada beberapa orang sedang menunggu dan menghampiri saya dengan raut muka sangat serius yang sempet membuat saya bertanya-tanya dalam hati beberapa saat.

Ternyata beberapa orang tersebut adalah perwakilan dari Lockheed Martin dan NASA/ JPL yang tertarik dengan teknologi yang sedang saya dan team kembangkan dan menawarkan kerjasama strategis untuk bersedia masuk dalam program transfer teknologi untuk membantu mengembangkan project di tempat mereka. Permintaan organisasi kedirgantraan dan perusahaan besar tersebut sedang didiskusikan di level internal ESA dan Airbus Defence and Space karena saya juga berafiliasi dengan perusahaan tersebut, yang notabene adalah saingan dari Lockheed Martin, perusahaan pesawat tempur dari Amerika Serikat.”

Setelah berbincang-bincang tentang teknologi terbaru, Habibie meminta Dwi bersedia membantu negara untuk meningkatkan mutu pendidikan teknologi terbarukan. Dwi pun menyanggupi permintaan pakar pesawat terbang tersebut. Karena itu, dia bersedia pulang untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan stakeholder pendidikan tinggi di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga curhat soal kegetolan pemerintah Belanda menawari dirinya paspor Negeri Kincir Angin. Sejauh ini, doktor bidang aerospace engineering itu mampu menolak dengan halus.

’’Pak Habibie bilang, kalau pemerintah Belanda masih menawari lagi, apalagi mengintimidasi saya disuruh melapor ke beliau. biar beliau yang menghadapi pemerintah Belanda,’’ kenang Dwi.

Habibie mewanti-wanti agar Dwi tetap mempertahankan identitas kewarganegaraannya. Jangan sampai mau pindah kewarganegaraan di Belanda. Perkara berkarya membantu perusahaan internasional atau bahkan membantu pemerintah Belanda, itu sah-sah saja sebagai profesional.

’’Kamu jangan sampai mencabut jati diri dan kewarganegaraan Indonesia-mu,’’ pesan Habibie.Apalagi mengingat kejadian ketika IPTN gulung tikar Amerika dan Eropa serasa mendapat durian runtuk ketika para insyinyur Indonesia pada diaspora kesana, dan beberapa orang sekarang menjadi top management di Eropa dan USA.

Wanti-wanti Habibie itu menguatkan pesan yang disampaikan orang tua Dwi. Setiap pulang ke Jogja, misalnya saat Lebaran, orang tuanya selalu berpesan supaya Dwi tidak lupa asal muasalnya Indonesia.

Pria 28 tahun yang sebentar lagi bergelar profesor itu menyatakan, gencarnya tawaran berpaspor Belanda itu muncul karena riset yang dilakukan sangat sensitif. Riset-riset Dwi bersama para guru besar dari Technische Universiteit (TU) Delft selama ini menggarap bidang national security Kementerian Pertahanan Belanda, European Space Agency (ESA), NASA, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), serta Airbus Defence.

Salah satu riset sensitif yang dia garap adalah teknologi roket untuk militer dan misi luar angkasa. Dwi juga menggarap satelit untuk riset luar angkasa serta pertahanan dan keamanan (hankam). Dia terlibat pula dalam penyempurnaan teknologi pesawat tempur Eurofighter Typhoon generasi anyar milik Airbus Defence.

’’Riset bidang itu kan sensitif sekali jika digarap orang dari negara lain,’’ kata ilmuwan muda jenius tersebut.

Kasarannya, potensi untuk menjual hasil riset ke pesaing usaha atau membocorkan pertahanan Belanda ke negara lain sangat memungkinkan. Karena itulah, Dwi berkali-kali ditawari untuk pindah kewarganegaraan Belanda.

Dari riset-riset yang dilakukan, Dwi telah mengantongi tiga paten di bidang spacecraft technology. Sayang, dia terikat kontrak untuk merahasiakan paten tersebut. Dia tidak bisa membeberkan tiga paten itu karena terkait dengan program strategis.

Dia mengaku cukup dilematis saat menolak tawaran pindah kewarganegaraan tersebut. Sebab, biaya kuliah S-2 dan S-3 Dwi di TU Delft dibiayai pemerintah Belanda. Dia tidak ingin dicap sebagai ilmuan yang tidak bisa berterima kasih kepada pihak yang membiayai kuliahnya.

Sarjana Tokyo Institute of Technology itu menegaskan, dirinya tidak memiliki tip khusus saat belajar sehingga mampu meraih gelar doktor dalam usia muda. Menurut dia, kunci utamanya adalah harus memiliki interest atau ketertarikan pada bidang yang digeluti. ’’Butuh lebih dari passion,’’ ungkapnya.

Dia mencontohkan, ketika menggarap roket pada 2015, dirinya hanya sempat tidur 2–3 jam. Waktunya habis untuk melakukan riset-riset di laboratorium. Apalagi, risetnya memerlukan perhatian khusus karena terkait dengan kemampuan high qualified. ’’Sama-sama berbasis teknologi.

Bekal lain yang dimiliki Dwi adalah kemampuan di bidang matematika dan fisika. Saat duduk di bangku sekolah, bungsu dua bersaudara itu memang hobi astronomi. Kemampuan menguasai matematika dan fisika itulah yang mengantarkannya menjadi calon profesor di bidang aerospace engineering dalam usia yang terbilang masih muda.

(Referensi : Netralitas.com)

Post a Comment

1 Comments


  1. BANDAR MIX PARLAY TERBESAR DI INDONESIA HANYA DENGAN 1 USER ID SUDAH BISA BERMAIN SEMUA GAME.
    Join US ! klik link di bawah ini ?

    Bandar Bola

    Slot

    Casino Online Terpercaya

    togel online

    poker

    ReplyDelete