Ada Kisah dibalik Revitalisasi Benteng Somba Opu


Pada tanggal 18 Oktober 2010 Benteng Somba Opu menyaksikan upacara peletakan batu pertama sebuah proyek baru. Semua koran (media) di Sulawesi Selatan memberitakan, bahwa beberapa wilayah di kawasan Somba Opu akan segera disulap menjadi taman bermain keluarga yang bertaraf internasional. 

Sebagai langkah pertama proyek itu, tahun mendatang sudah akan ada waterbom, taman gajah dan burung dan kawasan treetop (kalau arti Bahasa Inggris itu ‘puncak pohon’). Alasan investasi, Benteng Somba Opu selama ini tidak terurus, bahkan terlantarkan, sehingga dianggap perlu adanya seorang investor berduit yang dapat diajak untuk merevitalisasi kawasan ini. 

Harus diakui bahwa sejak kawasan benteng itu diserahkan kepada Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan pada akhir tahun 1990-an, kegiatan-kegiatan di situ semakin berkurang, bahkan perawatan paling mendasar seperti membersihkan taman-tamannya atau perbaikan rumah-rumah adat makin kurang. Sebagian besar dari para seniman dan ilmuwan yang sebelumnya tinggal dan menjaga rumah-rumah adat itu hengkang entah ke mana, kelompok musik dan tarian Benteng Somba Opu yang telah meraih berbagai juara di seantero dunia diberhentikan, dan bahkan pameran pembangunan Sulawesi Selatan yang sebelumnya diadakan setiap tahun di situ kini sudah pindah ke Celebes Conference Centre. 

Sang investor taman rekreasi itu pun langsung mulai bekerja. Ketika penulis kembali dari kunjungan kerja tiga bulan ke Eropa dan Jakarta, di pintu masuk Benteng Somba Opu sudah ada berbagai alat berat dan puluhan pekerja yang sibuk-sibuk memindah-pindahkan tanah timbunan sana-sini, telah terbangunlah fondasi-fondasi untuk yang kelihatannya akan menjadi bermacam-macam kolam renang, terlihat kerangka-kerangka kurungan burung dan berdiri dengan tegak sebuah tembok baru sekeliling tanah proyek itu. 

Pengunjung yang akan datang berjubel-jubel untuk menikmati taman main keluarga bertaraf internasional itu mestinya dipasangkan pintu masuk, penjualan karcis dan sebagainya, sehingga tak mungkin kawasan Benteng Somba Opu masih tetap dibuka untuk umum. 

Dan karena zaman kini sudah serba canggih, maka sisa tembok asli benteng dari abad ke-17 tidak bisa diandalkan lagi menjadi pembatas dan pagar bagi sebuah proyek bertaraf internasional abad ke-21.

Sebuah pertanyaan adalah di mana ada hubungannya antara taman rekreasi keluarga, kawasan musium dan rumah-rumah adat di dalam situs Benteng Somba Opu. Jawabannya adalah bukan hanya kawasan kosong sekelilingnya yang dibangun, situs Benteng Somba Opu sendiri, termasuk selusinan rumah adat, beratus-ratus meter tembok asli benteng, baik yang sudah dipugar maupun yang belum, serta berbagai peninggalan arkeologi lain itulah yang akan ‘disulap’ juga menjadi taman hiburan gajah, burung, kawasan treetop, restoran, penginapan dan entah apa lagi. 

Jadi, agar sudah jelas bagian situs historis mana yang tak lagi boleh dimasuki secara bebas, tembok baru itu memang dibangun memotong tengah benteng itu. Memotong artinya menutup semua jalan dari kawasan barat Benteng Somba Opu ke kawasan timurnya dengan sebuah tembok yang konstruksinya berteladan kepada Tembok Berlin. Seperti di Berlin setelah tahun 1961, kini tiada lagi mobil, motor, orang, kerbau atau kambing yang bisa bebas berjalan dari pintu masuk Benteng Somba Opu ke Musium Pattingalloang, rumah-rumah adat Kajang, Mandar, Gowa, panggung kesenian atau ke tembok asli benteng yang sudah dibangunkan kembali di sebelah lautnya. Bahkan, bila masyarakat dari desa sebelah barat Benteng Somba Opu mau ke mesjid mereka yang berada di sebelah timur tembok baru itu, maka mereka kini harus berputar keliling atau memanjat tembok itu. Dan, katanya, ini baru tahap awal proyek itu.

Kenapa bisa sampai begitu adanya, ya? Sudah disebutkan bahwa yang selama ini menjadi pengurus di Benteng Somba Opu berpendapat bahwa kawasan itu sepertinya kurang terurus, sehingga perlu mencari orang yang bersedia melakukan yang kini dinamakan ‘revitalisasi’ itu. Sepertinya, ya, kasihan ‘kan sang induk benteng melihat anaknya ditelantarkan, jadi diusahakan mencari wali orang tua yang baru baginya, apalagi karena ternyata juga si Benteng Somba Opu itu ada nakalnya yang amat susah dihilangkan. Ia selama ini menjadi saksi bisu atas kejadian-kejadian sejarah yang agaknya tidak sesuai dengan yang semestinya, antara lain : serangan akhir atas benteng itu dijalankan oleh orang Bugis, Bacan dan Ambon, bukan Belanda, dan tanpa restu komandannya, Si Admiral Speelman? Orang Jeneponto yang katanya sekutu Gowa bersekongkol dengan Arung Palakka, dan hanya bertempur berpura-pura selama setengah jam ketika pasukan gabungan Bugis dan Belanda menyerang daerah mereka, untuk akhirnya ikut menyerang Makassar? Ketika berlabuh di Salemo, pasukan Mandar hampir-hampir saja mengurungkan rencana mereka untuk berlayar ke Somba Opu membantu Sultan Hasanuddin mempertahankan kerajaannya dan mau menyebrang ke pihak Belanda? 

Naskah-naskah lontaraq, hikayat-hikayat Melayu dan arsip-arsip Belanda yang menceritakan sejarah tersebut, sulit ditemukan dan lebih susah lagi dibaca – sementara Benteng Somba Opu telah menyaksikannya, dan sampai kini kisahnya masih terbenam dalam batu-batunya. 

Pemerintah propinsi Sulsel kesulitan mendapatkan dana untuk pembangunan, sementara yang didapatkan dari Benteng Somba Opu hanya tagihan gaji karyawan, kwitansi-kwitansi biaya pot bunga, cat baru untuk rumah-rumah adat, pembangunan pagar taman, atau lampu-lampu hias dan lain-lainnya. Pertimbangan itulah sehingga niat baik investor itu diterima.

Akhirnya mungkin akan ada hasil dari si benteng nakal yang terlantarkan di ujung kota itu, apalagi bila Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan mendapatkan bagian lima persen saham dari sebuah proyek bertaraf internasional tersebut. 

Ijinkan saya untuk mengambil satu contoh lain: Dua-tiga tahun lalu koran-koran Sulawesi Selatan disibukkan dengan adanya isu temuan harta karun kapal tenggelam yang katanya bernilai milyaran rupiah di Tile-Tile, Selayar. ‘Harta karun’ itu memang ada, dan berupa beberapa ribu mangkuk keramik Cina; dari selusinan buah keramik yang sampai ke tangan arkeolog diperkirakan bahwa mangkuk-mangkuk itu berasal dari Dinasti Sung Selatan, sekitar abad ke-12 atau ke-13. Dengan ini, temuan itu kemungkinan besar merupakan muatan kapal karam tertua yang pernah didapatkan di Sulawesi.

Sebelum informasi itu sampai ke khalayak, ada beberapa ratus biji keramik asal Tile-Tile yang muncul di pasaran barang antik di Jakarta, dan karena khawatir suatu situs historis akan dijarah dan dirusakkan, maka Departemen Kebudayaan dan Pariwisata langsung menyuruh wakilnya di Sulawesi ke Selayar untuk memeriksa situs itu – akan tetapi, entah bagaimanapun, setiba di sana para arkeolog dilarang mendekati lokasi temuannya oleh pemerintah setempat. Beberapa bulan setelahnya wakil-wakil sebuah perusahaan pengangkatan kapal karam profesional berkunjung ke Selayar, dan mereka diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah setempat saat itu serta ingin diajak untuk bekerja sama mengangkat sisa-sisa keramik yang masih berada di dasar lautan. Sayangnya, setelah perusahaan itu mensurvei situsnya mereka mundur dari tawaran itu karena ternyata sebagian besar keramik sudah habis diambil. Maka tinggallah masyarakat setempat dan berbagai pihak lain yang berusaha mengangkat sisa ‘harta karun’ itu sendiri, dan menjual bagian terbesarnya ke pedagang benda antik di Jakarta dan Surabaya. Memang tidak jelas beberapa keuntungannya; yang jelas ada rupiah mengalir masuk di Selayar, dan uang itu pasti membantu memutarkan roda perekonomian di sana. 

Bahwa temuan keramik itu tidak didesalinisasi, artinya, direndam dalam air tawar sampai kandungan garamnya bisa lepas, sehingga sebagian besar mangkuk mudah retak sebenarnya tak menjadi masalah juga, ‘kan? Sedang nilai historis yang terkandung dalam kapal karam yang mungkin kapal tertua yang pernah didapatkan di Sulawesi itu, apakah bisa dijadikan rupiah untuk membantu dalam pembangunan daerah? Apalagi kalau nanti muncul lagi macam-macam cerita sejarah yang mendiskreditkan, seperti halnya di Benteng Somba Opu?

Kembali ke Benteng Somba Opu. Dari pembangunan proyek waterbom, taman burung dan gajah dan sebagainya kita juga dapat mengetahui bahwa batu-batu bata tua tapi nakal ternyata masih tetap ada gunanya, sebagaimana Anda dapat menyaksikan sendiri di lapangan proyek, sisa batu-batu tembok Benteng Somba Opu bisa menjadi timbunan yang amat baik untuk pembangunan – pecahan-pecahan batu yang dulu tidak lagi bisa digunakan ketika tembok asli benteng direnovasi kini sudah habis dipakai untuk meratakan tanah sekeliling rumah adat Mamasa. Di situ akan berdiri pula sebuah restoran, yang bertaraf internasional, jelas.

Dan cerita taman gajahnya? bukan hal yang baru juga karena sudah pernah ada di Benteng Somba Opu di masa silam. Pada tanggal 16 Mei 1642, seorang saudagar Portugis yang tinggal di Makassar menghadiahkan seekor gajah kepada Sultan Alauddin, raja Gowa pada zaman itu, untuk taman binatang kerajaan saat masa kejayaan kerajaan Gowa. 

Sayangnya, kandang gajah-gajah di taman rekreasi nanti dipisahkan dari Musium Pattingalloang oleh tembok baru itu, sehingga para pengunjung mungkin takkan bisa tahu bahwa yang menyumbang nama musium itu, Karaeng Pattingalloang, perdana menteri Gowa di bawah Sultan Alauddin, bukan saja tertarik pada hewan dan burung dari tanah seberang, tetapi doyan juga mengumpulkan alat-alat survei dan penelitian dan buku-buku ilmiah mutakhir, termasuk sebuah bola dunia berukuran empat meter yang dipesankannya secara khusus dari Jerman, bola dunia kedua terbesar yang ada di bumi pada zamannya.

Horst Liebner, Universitas Leeds
Rumah Adat Mandar, Benteng Somba Opu, Makassar

Post a Comment

0 Comments